Jadi, aku sudah menunggu selama hampir 6 jam. Aku hanya memakan setengah bekal yang kubawa, hanya berupa kare dan nasi, juga roti bakar untuk ibu. Aku masih lapar, dan memikirkan, senangnya bisa berlibur, dan tidak diam di klinik sendirian dan dilihat oleh beberapa orang yang berobat. Tetapi, aku disini untuk menunggu Ibuku. Sebenarnya, beberapa jam sebelum ini, aku sudah diberitahukan ibuku untuk pulang saja dan nanti ibu akan tetap dirumah sakit sampai ayah datang. Tetapi, aku cemas dengan Ibu. Tidak mungkin berhari-hari dia dijaga oleh suster terus-menerus, kan? 24 jam? Tidak mungkin!! Makanan juga tidaklah makanan tetap yang lebih sehat, dan masa itu harus dikonsumsi ibu? Jadi aku meminta untuk tetap di rumah sakit, dan terpaksa tidur juga jika ayah atau adikku datang ke sini. Untungnya, ada pesan singkat yang ibu tinggal di rumah.
"Adik, adik anak dari Bu Gita, ya?" tanya seorang pria yang berdiri di sampingku. "Iya, memang ada apa, Paman?" kataku menjadi sesopan pun. "Aku Beni, teman kerja Ibumu. Aku mengetahuimu dari tas bayi itu, ada namanya.." jawabnya dengan terlihat jujur. "Oh,ya! Hampir lupa saja sosok Paman Beni! Selamat siang, Paman!" kataku kaget dan sekaligus senang. "Apa perlu Paman disini?" tanyaku agak heran. "Aku disini untuk menjenguk keponakanku Hemi. Dia terkena kanker, untungnya kondisinya masih stabil. Aku disini menunggu istriku yang sedang membeli makanan, mau?" tawar Paman. "Tidak usah, paling sebentar lagi Ibu selesai." Paman Beni pamit dan menghampiri istrinya. Lalu aku melihat suster keluar lagi, dengan wajah senang. "Ini dia!" katanya. "Adikmu yang sehat!". Aku kaget dan menghampiri Suster itu. "Ini... aa... dikku?!" kataku hampir tidak percaya. "Iya, Laki-laki!" katanya. Semangatku agak turun, soalnya, aku mengharapkan adik perempuan lagi, jadi total 3 perempuan. Tetapi, aku tetap pastinya mau adik laki-laki dong, nanti gede diajarin olahraga, hehehe ><...
"Kakak yang pintar, kelas berapa, ya?" kata suster yang melihatku menggendong adikku itu. "Kelas 4 SD." "Wah, kakak yang berbakti pastinya. Ayo, kamu sudah boleh menjenguk ibumu di ruang istirahat setelah bersalin." Aku langsung berlari menghampiri ibu, diikuti suster yang membawa adikku didalam keranjang bayi dorong dan membawanya ke ruang ibu. Lalu, aku melihat ibuku, dengan wajah pucat, seraya dengan wajah setengah mati, sedang berbaring di tempat tidur, tanpa gerakan apapun. "Ibu, ibu masih sehat?" kataku khawatir. "Tenang... Ibu.... sudah berjuang... Kamu, sudah gendong adik?" tanya ibu dengan suara kecil. "Iya!! Dia lucu sekali, sempat aku melihat pipinya merah.." kataku memberi ibuku semangat. "Hem, apa yang nama yang cocok untuknya? Bagaimana kalau Toni?" kata ibuku menyarankan dengan setengah berbaring. "Jangan, tidak cocok. Soalnya, wajahnya tajam dan alisnya tebal. Namanya cocok dengan kepribadiannya saja, bu. Mungkin nanti jago olahraga. Bagaimana kalau Bambang? Seperti Bambang Pamungkas" kataku menyarankan. "Cocok! Begini saja, Bambang Satrio Andika? Pasti terdengar unik. Itu juga nama ayahmu, Satrio." Aku memeluk ibu dengan erat, dan hampir menangis. Do'aku terkabul juga, adikku lahir dengan sehat tanpa kecacatan, dan Ibu kembali sehat!
THE END
By : Zahra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar